Teknoflas.com – Gerakan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia tengah menjadi perbincangan hangat berbagai forum, termasuk internet alias media sosial. Sejumlah pihak mulai berani mengkampanyekan gerakan ini kepada masyarakat, namun banyak pihak dengan lantang menyatakan anti LGBT termasuk kalangan dokter.
Kini media sosial Twitter dihebohkan dengan surat dokter yang berani menentang gerakan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia. Surat tersebut berisi curahan hati seorang dokter yang melihat dan menangani langsung korban HIV AIDS akibat penyimpangan seksual LGBT. Surat tersebut merupakan screen capture yang beredar luas di jejaring twitter.
Semua bermula ketika akun @agastyaharjuna mentweet posting edaran mengenai LGBT. Adapun isi tweet beserta sebagian isi surat tersebut yakni:
Dokter itu itu bilang, udah banyak pasien HIV dia obatin. Dari yang badannya masih prima sampai yang udah ancur. Rata-rata karena LGBT. Ketika badan udah ancur, siapa yang mau bersihin darah dari badan mereka?
Bukan aktivis HAM, bukan pembela hak-hak LGBT, tapi ibu-ibu mereka sendiri. Ibu mereka yang dari dulu nasihatin mereka supaya jangan nakal. Ketika mereka ancur, ibu mereka juga yang bersihin darah mereka. Pembela HAM gak akan mau.
Perawat aja masih banyak yang grogian bersihin darah pasien HIV. Tapi ibu-ibu mereka mah nggak, namanya juga ortu. Kalo dah gitu baru dengerin apa kata ortu? Dari dulu ngapain aja?
Dalem dan menohok banget…
Apakah pengikut LGBT rentan terkena virus HIV/AIDS..? Sebagaimana dilansir teknoflas.com dari laman tribunnews, sejatinya semua orang beresiko tinggi kena HIV, bahkan tanpa mengenal batasan usia sekalipun. Namun ada beberapa kelompok orang yang lebih beresiko terinfeksi penyakit mematikan ini, termasuk mereka yang berhubungan intim dengan sesama jenis tanpa memakai pengaman.
Sebelumnya gerakan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) oleh organisasi Arus Pelangi menimbulkan pertentangan masyarakat, begitu juga dengan pejabat negara. Merasa tak bisa mengkampanyekan dan muncul sentiman anti LGBT oleh tujuh pejabat Indonesia di sosial media, Arus Pelangi menggugat ke Komnas HAM.