Teknoflas.com – Tenaga Ahli anggota Komisi VIII DPR dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan Ishaq Saefulloh mengakui bahwa rekomendasi dari atasannya diperlukan agar dapat menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi.
“Saya dapat rekomendasi dari Pak Asep Ahmad Maoshul Affandy, jadi ke pusat langsung, saya berangkat tahun 2011 dan saya sendiri yang berangkat saat itu,” kata Ishaq saat bersaksi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Ishaq bersaksi untuk terdakwa Menteri Agama 2009-2014 Suryadharma Ali. Dalam dakwaan disebutkan bahwa anggota panja Komisi VIII DPR agar mengakomodir orang-orang yang direkomendasikan untuk dapat menunaikan ibadah haji gratis dengan menjadi petugas PPIH Arab Saudi sepanjang 2010-2013.
Ishaq sendiri berangkat sebagai PPIH saat masih menjadi asisten pribadi Asep “Dalam BAP disebutkan Asep Ahmad Maoshul Affandy mengatakan ada kesempatan untuk naik haji dengan menjadi PPIH, apakah ini benar?” tanya jaksa.
“Kalau saya sendiri yang mengajukan ya logikanya tidak akan bisa (jadi PPIH),” jawab Iqbal.
Ia mengaku sebelumnya meminta rekomendasi lebih dulu kepada Asep yang ia kenal sebelumnya di pesantren.
“Saya mengajukan permohonan ke pak Kyai (Asep), berhubung ada kesempatan dari ibu Mimin (Auystina) mengenai ada kemungkinan untuk naik haji dengan jadi PPIH, maka saya tanya format surat lalu saya ajukan ke pimpinan. Pak kyai sebelumnya ragu karena belum ada pengalaman 2009 dan 2010,” jelas Iqbal.
Iqbal pun mendapatkan tugas sebagai sekretaris di sektor dua Mahbas Jin, Mekkah dengan tugas mencatat kedatangan dan keberangkatan kloter hingga mencatat semua laporan ketua rombongan jemaah.
“Tugas PPIH selama 40 hari, saya mendapat total transfer Rp40,6 juta seminggu sebelum saya berangkat dan transfer kedua Rp10 juta,” jelas Iqbal.
Sedangkan saksi lain bernama Khana Nurohman, seorang supir, mengatakan bahwa ia berangkat juga karena mendapat info dari tetangganya, seorang PNS di Kementerian Agama.
“Saya ketemu tetangga orang tua saya di Yogya, katanya kalau mau daftar bisa karena kamu (Khana),” kata Khana.
Khana sendiri adalah kakak dari anggota Komisi VIII dari fraksi Partai Demokrat TB A Khotibul Umam, namun ia mengaku tidak mendapat rekomendasi dari Khotibul.
“Iya adik saya, tapi sepanjang kakak beradik tidak dekat karena beda nasib,” ungkap Khana.
Meski Khana bukan berstatus sebagai PNS, Khana tetap bisa berangkat sebagai PPIH padahal dalam pedoman rekrutmen petugas haji yang dikutip Jaksa KPK dari SK Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Nomor D/159 Tahun 2012, menegaskan adanya aturan syarat petugas haji yakni PNS Kemenag atau kementerian/instansi terkait, diusulkan oleh pimpinan instansi/unit terkait dan harus melalui proses seleksi.
“Dalam BAP disebutkan Khotibul Umam memberikan rekomendasi dari Kemenag yang saya dapat informasi sebelumnya bahwa rekomendasi anggota DPR mutlak untuk bisa mendaftar PPIH, bagaimana dengan keterangan ini?” tanya jaksa.
“Saya daftar, lalu dites tapi tidak mengurus rekomendasi,” ungkap Khana.
Dalam perkara ini Suryadharma didakwa memperkaya diri sendiri sejumlah Rp1,821 miliar dan memperoleh hadiah 1 lembar potongan kain ka’bah (kiswah) serta merugikan keuangan negara sejumlah Rp27,283 miliar dan 17,967 juta riyal (sekitar Rp53,9 miliar) atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana laporan perhitungan kerugian Negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Menurut jaksa, Suryadharma melakukan sejumlah perbuatan yaitu menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi dan mengangkat Petugas Pendambilng Amirul Hajj tidak sesuai ketentuan; menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) tidak sesuai dengan peruntukan; mengarahkan Tim penyewaan Perumahan Jemaah Haji Indonesia di Arab Saudi untuk menunjuk penyedia perubamah jamaah Indonesia tidak sesuai ketentuan serta memanfaatkan sisa kuota haji nasional tidak berdasarkan prinsip keadilan dan proporsionalitas.
Suryadharma diancam pidana dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana jo pasal 65 ayat 1 KUHPidana.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.